Kamis, 03 November 2016

Mangkubumi : Asal Sebuah Daerah

Mangkubumi : Asal Sebuah Daerah

Di Tasikmalaya ada daerah bernama Mangkubumi, yang sekarang menjadi nama sebuah Kecamatan di wilayah Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Asal kata Mangkubumi diambil ketika Nyi Sakrembong dan Nyi Kondanghapa menyambung bambu yang dipakai untuk memikul Jenazah suami keduanya yang bernama Prabudilaya.

Ketika sampai di daerah tak bertuan itu bambu pikulan (bhs:sunda; Rancatan) patah. Sementara tidak ada bambu untuk mengganti. Dengan kesaktian yang dimiliknya mengambil tanah lempung untuk menyambung bambu tersebut. Dari kejadian itu daerah yang awalnya tidak bernama menjadi sebuah kampung (Mangkubumi: bhs sunda) artinya mengambil tanah untuk dijadikan perekat.

Kisah ini bersamaan dengan penamaan daerah-daerah di Tasikmalaya. Khususnya mengenai sejarah Situ Geude, Situ Cibeureum, Situ Cipajaran, Sambong hilir, Sambong Tengah.

Dikisahkan bahwa orang yang pertama membuat perkampung di daerah Mangkubumi adalah ibunya Prabudilaya. Sehingga ia dikenal dengan sebutan Nyimas  Mangkubumi. Setelah menemukan kuburan Prabudilaya dan untuk merawatnya ia memutuskan tinggal di daerah dekat Situ Geude, yang akhirnya daerah itu menjadi perkampungan yang maju.

Dari sebagian keturunan Nyimas Mangkubumi. Bahwa dari keturunan anak sulungnya bernama Raden Demung yang tinggal di Cipancur Singaparna lah yang melahirkan masyarakat Tasikmalaya bagian Singaparna, Mangkubumi dan daerah sekitarnya.

Raden Demung memiliki putra sepuluh, diantara yang diceritakan leluhur antara lain.
1. Raden Djajoeda: memperistri orang Cigantang Mangkubumi dan tinggal di sana.
2. Raden Satjakoesoemah: memperistri orang Cisompet Singaparna
3. Demang Ageung: beristri pada orang Taneuh Bereum (Singaparna). Dan tinggal di sana dengan neneknya Nyi Mas Mangkubumi
4. Dalem Singadjaja: (pen: Ada yang tau ini daerah mana?)

Atas permintaan Raden Demung, Nyi Mas Mangkubumi akhirnya menghabiskan masa tuanya di daerah Singaparna (Taneuh Bereum).

Selain dari keturunan Raden Djajoeda yang tinggal di Mangkubumi. Diceritakan pula bahwa dari keturunan Raden Satjakoesoemah juga tinggal dan menetap di sekitar daerah Mangkubumi dengan silsilah:
1. Nyi Mas Mangkubumi, berputra
2. Raden Demung,
3. Raden Satjakoesoemah,
4. Raden Bagoes Katir (beristri orang Mangkubumi)
5. Nyi Mas Winana  (bersuami: Syekh Bagoes Kalam asal Cirebon putra dari Syekh Mandoeng)
6. Embah Poetra
7. Ki Panggin,
8. Ki Kamaloedin
9. Kapidin
10. Padaraksa
11. Amboe Lidjem
12. Ki Pidjem (yang pertama kali mengurus Makam Prabudilaya, diteruskan keturunannya)

Cat: Prabudulaya berasal dari Sumedang, di Gunung Simpay keturunan Tajimalela,

Kamis, 13 Oktober 2016

PANGERAN WANGSAKERTA

PANGERAN WANGSAKERTA

Oleh : Saleh Danasasmita


  Saleh Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 911 Maret 1986.
  Menurut Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum. Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam pertengahan kedua abad ke17, ternyata benar-benar ada.
  Dr. F. de Haan dalam buku Priangan II (1912), membicarakan tokoh Pangeran Wangsakerta dengan sebutan Depati Topati. Dalam sumber Kompeni lainnya, ia lebih dikenal sebagai de derde Prins van Cheribon (Pangeran yang ketiga dari Cirebon).
Catatan Harian Kompeni, Daggh Register geharden int Casteel Batavia: 19 November 1677 memuat laporan Caeff (wakil Kompeni di Banten), yang memberitakan: bahwa de derde Prins baru saja kembali ke Cirebon dari kunjungannya ke keraton Banten. Namun dalam Dagh Register 21 Desember 1677 Caeff melaporkan, bahwa berita tersebut "tidak benar". Karena kesal, De Haan mengumpat Caeff; Di mana orang itu menaruh matanya? (War zijne oogen gehad?).
Mengenai hubungan antara Pangeran Wangsakerta dengan kerabat keraton Banten, De Haan (1912, 260 paragraf 425) mengutip laporan B. van der Meer dan Jan Mulder, bahwa Sultan Anom masih terhitung kerabat keraton Banten. Sedangkan Dipati Topati, sama sekali bukan.
Di lingkungan terbatas kerabat keraton, dikenal adanya sebuah naskah wawacan, dikisahkan bahwa Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom) berbeda ibu dengan Pangeran Mertawijaya (Sultan Sepuh) dan Pangeran Wangsakerta. Ibunda Pangeran Kertawijaya berasal dari Banten, sedangkan Ibunda kedua orang saudaranya berasal dari Mataram. Kekisruhan tersebut menunjukkan bahwa riwayat hidup Pangeran Wangsakerta, termasuk kedudukannya di Cirebon, masih sangat kabur.
Untuk menjernihkan kekisruhan tersebut, kita perhatikan keterangan dari Pangeran Wangsakerta sendiri, dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 4 (Halaman 86-88) yang terjemahannya sebagai berikut:

Telah dikisahkan terdahulu bahwa Puteri Ratu Ayu Sakluh berjodoh dengan Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Mataram. Dari perkawinan tersebut, lahir Sunan Tegalwangi yaitu Amangkurat yang pertama. Sunan Tegalwangi berputera Amangkurat kedua yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Penguasa Mataram. Puteri Sunan Tegalwangi berjodoh dengan Pangeran Putra yaitu Panembahan Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam.
Dari puteri Mataram, Panembahan Girilaya berputra tiga, yaitu: Pangeran Mertawijaya alias Pangeran Samsudin yang menjadi Sultan Kasepuhan pertama, adiknya. Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin yang menjadi Sultan Kanoman pertama, dan adiknya yang bungsu yaitu Pangeran Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon pertama.
Karena Ratu Ayu Sakluh itu kakak Panembahan Ratu, maka raja Cirebon dengan raja Mataram masih berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan Tegalwangi, senantiasa ingin merebut Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga berkerabat dengan raja Banten padahal Banten dengan Mataram selalu bermusuhan.
 Adapun awal pembentukan Kasepuhan dan Kanoman, pada tahun 1599 Saka (1677 M). Empat tahun kemudian, Cirebon mengadakan perjanjian persahabatan (mitranan) dengan Kompeni Belanda. Yang menandatangani surat perjanjian ink yaitu: Sultan Kasepuhan yang pertama Pangeran Samsudin Mertawijaya, Sultan Kanoman pertama Pangeran Badridin Kertawijaya, kemudian semua pejabat tinggi negeri Cirebon yang disebut jaksa Pepitu, yaitu: Panembahan Ageng Gusti Cirebon yaitu Pangeran Wangsakerta dan para jaksa Pepitu masing-masing: Raksanagara, Purbanagara, Anggadireksa, Anggadiprana, Anggaraksa, Singanagara, dan Nayapati. Sang Panembahan (Pangeran Wangsakerta) adalah ketua dari jaksa Pepitu itu.
  Penandatangan dari pihak Kompeni Belanda adalah: Yakub Bule (Jakob van Dijk) dan Kapitan Misel (Michielsz). Peristiwa itu berlangsung di keraton Kasepuhan.
 Setelah Panembahan Ratu wafat, ia digantikan oleh cucunya yaitu Raden Putra alias Raden Rasmi yang kemudian disebut Pangeran Panembahan Adining Kusuma. la bergelar Panembahan Ratu II putera Pangeran Seda ing Gayam, yang wafat ketika ayahnya yaitu Panembahan Ratu I masih hidup. Panembahan Adining Kusuma menjadi penguasa Cirebon selama 12 tahun. Setelah wafat, Pangeran Raden Putra disebut Pangeran Panembahan Girilaya.
Selama menjadi penguasa Cirebon ia selalu berada di Mataram bersama kedua orang putranya yaitu: Pangeran Samsudin Mertawijaya dan Pangeran Badridin Kertawijaya. Adapun putra Pangeran Panembahan Girilaya yang ketiga tinggal di keraton Cirebon mewakili ayahnya.
Setelah Pangeran Panembahan Girilaya wafat, Pangeran Samsudin Mertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Sepuh kemudian disebut Sultan Kasepuhan pertama, adiknya, Pangeran Badridin Kertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Anom kemudian disebut Sultan Kanoman pertama dan adiknya, Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi sultan ketiga dengan gelar Panembahan Cirebon.
Pada waktu itu tiga negara ingin menguasai Cirebon yaitu: Banten, Mataram dan Belanda, padahal para sultan menghendaki negaranya merdeka. Sementara itu raja Mataram, Susuhunan Amangkurat pertama sedang bermusuhan dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati Madura Pangeran Cakraningrat.
 Tentara Madura yang dipimpin oleh Trunojoyo bergabung dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng Galesung dan Monte Marano. Dalam pertempuran di berbagai daerah, tentara Mataram selalu menderita kekalahan. Tak lama kemudian tentara Madura dan tentara Makasar berhasil merebut Karta ibukota Mataram. Susuhunan Amangkurat dan putranya, Pangeran Dipati Anom beserta para pengiringnya melarikan diri ke arah barat. Kemudian Sunan Mataram wafat di Tegalwangi. Karena itulah Susuhunan Amangkurat pertama digelari Susuhunan Tegalwangi. Setelah itu putranya, Pangeran Dipati Anom, menggantikan ayahnya menjadi Susuhunan Amangkurat kedua.
Ketika Ibukota Mataram direbut oleh tentara Madura dan Makasar, Panembahan Sepuh Samsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom Cirebon berada di sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri. Juga Ratu Blitar serta beberapa kaulanya tertangkap oleh Trunojoyo dan dibawa ke Kediri. Di sana para pangeran dari Cirebon bersama Ratu Blitar mendapat perlakuan hormat dari Trunojoyo.
Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, yaitu aku sendiri, ingin membebaskan kakakku dari bencana tersebut. Karena itu aku beserta rombongan para pejabat tinggi pergi ke Banten. Dengan sungguh-sungguh aku memohon bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa Banten agar ia berusaha membebaskan kakakku karena Sultan Banten masih kerabatku.
Kemudian anggota rombonganku bersama tentara Banten pergi naik kapal perang Banten menuju Jawa Timur dan selanjutnya ke Kediri. Trunojoyo dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi permintaan agar para pangeran dari Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan. Bersamaan dengan itu Sultan Banten memberikan hadiah dan bantuan berupa senjata kepada Trunojoyo karena Sultan Banten bersekutu dengan Trunojoyo dalam permusuhan mereka terhadap Mataram dan Belanda. Penguasa Banten menyampaikan rasa suka citanya karena Trunojoyo berhasil merebut ibukota Mataram.
Pangeran Madura itu bersikap hormat kepada anggota rombongan utusanku dan menjamu dengan bermacammacam hidangan yang serba lezat. Akhirnya Panembahan Sepuh, Panembahan Anom beserta pengiringnya demikian juga Ratu Blitar dibebaskan oleh Trunojoyo.
Setelah itu anggota rombonganku membawa kakakku dan Ratu Blitar ke Banten. Di sana Sultan Ageng Banten menerima kedatangan rombonganku bersama Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom Cirebon.
  Lalu Sultan Banten mewisuda kami, Pangeran Samsudin Mertawiijaya ditunjuk menjadi Sultan Sepuh yang kemudian disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin Kertawrijaya ditunjuk menjadi Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman dan Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi Sultan ketiga dengan sebutan Panembahan Ageng Gusti Cirebon alias Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil Mohammad Nasarudin namanya yang lain.
 Setelah itu kami pulang ke Cirebon dan Sultan Banten meminta agar kami memusuhi Mataram dan Belanda.  Sejak saat itulah berdiri Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan Panembahan Cirebon.
  Kutipan di atas, merupakan kisah yang dialami sendiri oleh Pangeran Wangsakerta, sehingga dapat menghapus segala kekisruhan, akibat bermacammacam dugaan yang ditulis pada masa kemudian.

KH. Ahmad Qolyubi : Rois Syuriah Pertama NU Cabang Tasikmalaya

KH. Ahmad Qolyubi: Rois Syuriah NU Tasikmalaya Periode Awal

KH.Ahmad Qolyubi yang lebih dikenal dengan sebutan Mama Unung dilahirkan tahun 1891 di Madewangi Tamansari Kota Tasikmalaya. Dari ayah H. Abdul Gani bin Natawijaya (Lijem), bin Iskin, bin Katam, bin Jiwaraga, bin Nyai Raden Mas Narawulan. Serta menurut sebagian cerita merupakan keturunan dari Jaka Tingkir bin Ageng Pemanahan.

Pendidikan
Mama unung pernah sekolah sampai kelas dua di Citapen tahun 1903 - 1906. Dilanjutkan di sekolah Belanda (Van Der Kam) tahun 1908. Terus ke sekolah raja (Ofleidingschool) di Bandung tidak tamat karena sakit sakitan,dan tidak ada izin dari keluarganya.

Sekembalinya dari Bandung Mama Unung oleh Keluarganya di masukan ke Pesantren untuk memperdalam Agama. Diantara para gurunya adalah: KH. Dimyati kakaknya;  belajar membaca Al-Qur'an. KH. Ilyas Pesantren di Banjar selama 4 Bulan, belajar Kitab Tijan dan Sulam.

Selanjutnya berangkat ke Mekkah, atas anjuran ayah angkatnya (H. Abdul Halim asal Indramayu dan Nyai. H. Aminah asal Mangkubumi) dari Jajaway yang merupakan juragan tembakau.

Berangkat ke Mekkah bersama kawannya dari Ciakar Cibeureum yaitu KH.Juhaemi yang sekembalinya dari Mekkah mukim jadi guru agama di Kandang Sapi Cianjur. KH. Ahmad Qolyubi ketika di Mekkah bertempat tinggal di Syamiyah bersama KH. Mohamad Toha (asal Cieureuleu Ciawi, sekembali dari Makkah lalu menjadi guru agama di Citawana Singaparna).

Guru-gurunya di Mekkah, antara lain: Syekh Sa'id Yamani, Syekh Rd. Junaedi asal Cieuleuy Malangbong dan meninggal di Mekkah, KH. Mohammad Toha asal Garut, KH. Ma'mun, KH. M. Husaen, KH. Dimyati (endin), KH. Kurtubi, KH. Satibi Gentur, KH. Sedeli Banten, KH. Masduki Majalengka.

Sedangkan guru lainya yang khusus  belajar Al-Qur'an adalah; KH. Saidam asal  Banten, KH. Hasan Kuningan, dan KH. M. Sarbini asal Bawean Surabaya.

Selain belajar, KH. Ahmad Qolyubi Juga menjadi guru ngaji di Makkah, bagi para mukimin. Saling belajar pada waktu itu sudah lumrah, karena mereka datang sudah jadi Kyai di daerah asalnya. Disitulah hubungan guru murid, ikatan persaudaraan antar pelajar asal Jawi/Nusantara tetjalin. Tidak heran jika informasi dari seantero Nusantara waktu itu dapat tersampaikan kesemua penjuru Nusantara lewat para pelajar dari Jawa/nusantara dengan cepat.

Diantar murid beliau di Mekkah adalah, H.M.Saleh seorang mualaf Cina dari Tipar Sukabumi, H. Samsudin dari Madewangi, Rd Junaedi asal Manonjaya, serta dari daerah Pageurageung, Kawali, Panjalu, Ciawi, Banjar, dan daerah sekitar Tasikmalaya.

Selain mengajarkan kitab kuning, beliau juga mengajarkan hurup latin, Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda. Menjadi keanehan waktu itu, ada orang keluaran sekolahan menjadi kyai, bukan menjadi Abtenaar atau Upas kaki tangan penjajah.

Setelah pulang dari tanah Mekkah, KH. A. Qolyubi lalu mendermakan hidupnya untuk dakwah di daerah Madewangi, Stiamulya Tasikmalaya. Mulai dari mendirikan madrasah (Ponpes Nurussalam) dengan sistem klasikal di tahun 1932, yang masih aneh waktu itu. Tidak jarang mendapat ancaman olok-olok dari tokoh setempat.

Pengajarannya selain prihal agama juga dimasukan pelajaran umum. Diantara murid-murid nya waktu itu datang dari daerah Sekitar Tasikmalaya, semisal Picungremuk, Ciburuyan,Sindangsari, Cibeureum, Palaha, Mulyasari, Panunggal, Cineam, Nanggala, Gunung Tanjung, Langkap Lancar, Banjar, Parigi dan daerah Garut.

Beliau dalam perjuangannya dibantu para Murid awal ketika di Mekkah seperti: H.M.Saleh, H. Syamsudin, Suawarjawinata (Lurah Setiamulya, juga mertua beliau), H. Sopandi, H.Apandi Madewangi, Kyai Ruhani Cibeureum, H. Sayuti Sindangsono Cikatomas, Zaenudin Cikatomas, Kyai Huraezi Ciburuyan, Amil Duleh, Kyai Wardi, dan H.Julaini Picung Remuk.

Hubungan guru murid tidak pernah putus, ketika beliau sudah di Tasikmalaya ada juga yang datang dari daerah Arab, seperti Sayyid Husen Al Aththos, guru aurod Aththosiyah, Syekh Abdul Hamid dari Mesir, Syekh Abdullah Bin Ibrahim Iraqi, serta Syekh Ali Toyib Al Madani Mursyid Tarekat Tijaniyah.

Mendirikan Cabang NU di Tasikmalayakhir

KH. AHMAD QOLYUBI bersama KH. Muhammad Fadil (Buya Fadil) Nagarawangi, dan KH. Zaenal Abidin asal Garut. Sekitar akhir Tahun 1926 bersama-sama, mengabarkan adanya Perkumpulan Ulama (NU) atau waktu itu disebut Nahdoh.

Mereka mengunjungi ajengan-ajengan Tasik diantaranya KH. Ruhiyat Cipasung, KH. Sobandi Cileunga, KH. Gan Aon Mangunreja, KH. Masduki Awipari, KH. Zabidi Nagara Kasih.

Diantara para kyai Tasik pada waktu itu ada yang menerima dan menolak dari usulan untuk ikut bergabung dengan Nahdoh. Yang menolak dikarenakan takut  ancaman penjajah  Belanda.

Kenapa KH. Ahmad Qolyubi begitu gigih dalam mengabarkan adanya Nahdoh? Ini tidak lain dikarenakan hubungan guru murid,atau kuatnya jejaring pesantren/ulama nusantara. Beliau belajar di Makkah antara tahun 1910-1916.

KH. Ahmad Qolyubi, menjadi Rois Syuriah pertama di Tasikmalaya dengan Tanfizdiyah Rd. Sutisna Senjaya.
Bersambung..

JEJAK ISLAM DI TASIKMALAYA

JEJAK ISLAM DI TASIKMALAYA

Gambaran umum


  • Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin Karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi di Indonesia melaui pintu barat. Oleh Karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya Islam dari pintu gerbang barat.


  • Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, putera Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Seorang murid Syekh Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih. Atas kebaikan Ki Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di Karawang. Dalam naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhopi. Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Raja Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi perintis pembangunan kota Cirebon pada sekitar 1455M. 

  • SYARIF HIDAYATULLOH Sunan Gunung Jati Cirebon lahir 1450 M. Setelah belajar dari Syekh Datuk Kahfi Ia meneruskan belajar ke timur tenngah. Menikah dengan adik bupati banten Nyai Kawunganten, memiliki anak Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanudin Sultan banten I. 


  • Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.

  • Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman, pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.

  • Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan tradisi Wali Sanga. 

  • Para bupati sukapura, manonjaya merupakan murid dari syekh Abdul Muhyi. Selanjutnya penyebaran islam di sekitar parahyangan tasikmalaya, ciamis, garut dan daerah lain. Dilanjutkan oleh para keturunan SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur Geneologi/keturunan, Hubungan Guru Murid serta melalui Perkawinan.

  • Sebagaimana contoh penyebaran Islam di Tasikmalaya daerah Awipari Cibeureum, proses penyebaran Islam memalui jalur keturunan Syekh Abdul Muhyi dengan membuka pesantren. Pendiri Pesantren Awipari (sekarang Pesantren KH. Bustomi Awipari) merupakan keturunannya dari istri Nyai Mas Ayu Bakta.

  • Dengan silsilah : Syekh Abdul Muhyi berputra Nyi Mas Madikusumah berputra Syekh Imam Waji  berputra Eyang Haji Naim  berputra Eyang Hajah Rukayah  berputra Mama Husain (pendiri PP Awipari)  berputra Mama Masduki berputra KH. Bustomi (penggantian nama PP menjadi PP Awipari KH. Bustomi).

  • Dari alumni  kemudian menyebar ke daerah sekitar Tasikmalaya. Seperti di kelurahan Awipari banyak didirikan Pesantren, sehingga masyarakat menyebutnya kampung Pasantren. Sampai sekarang Tasikmalaya dikenal denga Kota Seribu Pesantren.

  • PENINGGALAN ISLAM DI TASIKMALAYA

- Makam Syekh Abdul Muhyi
- Goa Safarwadi
- Mesjid Manonjaya

Rabu, 12 Oktober 2016

SIAPAKAH SYEH SITI JENAR

SIAPAKAH SYEH SITI JENAR

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.

Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]

2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]

3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin...melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemansory yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati....jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.